“Servire; carum habere, veniam. Saling melayani, saling menyayangi, saling mengampuni”
Kehidupan sebuah komunitas itu memerlukan interaksi yang intensif dan terus menerus. Di dalam interaksi itulah terletak nyawa dan kehidupan sebuah komunitas. Tatkala komunitas itu diam, tak ada dinamika maka sebuah komunitas itu akan mati, kehilangan roh. Komunitas itu, baik kecil maupun besar memiliki makna penting dalam membangun sebuah masyarakat.
Melalui pengalaman empirik kita memahami benar bahwa ternyata mempraktikkan “kesalingan” tidaklah mudah dan sederhana. “Kesalingan” tidak terjadi karena kita mempertimbangkan kesiapaan teman kita itu. Kita yang sering menuntut pertolongan, perhatian, penghormatan dari sang teman, sementara kita sendiri tidak mau untuk membantu teman kita itu. Kesalingan mesti terjadi timbal balik, tidak pernah “bertepuk sebelah tangan”.
Salah satu elemen dasar yang sangat membantu dalam mempraktikkan ‘kesalingan’ adalah sikap respek, sikap menghormati terhadap orang lain. Sikap respek itu tidak pernah mempertimbangkan latar belakang apapun, baik Sara maupun aspek-aspek yang lain. Sikap respek ini berkaitan erat dengan kebesaran jiwa seseorang dalam menghadapi berbagai realitas.
Kebesaran jiwa, bersikap legowo bisa terjadi pada siapa saja dan dalam konteks apa saja. Jenderal Grant, berjalan mondar-mandir naik turun diatas dermaga sambil mengisap rokok. Sebenarnya tindakannya itu bertentangan dengan peraturan yang ada disana. Seorang tentara Negro yang melihat hal itu mendekatinya dan memberitahukan bahwa merokok ditempat itu melanggar peraturan. “Apakah ini perintahmu?” tanya sang Jenderal. “Ya, Pak!” jawab prajurit itu dengan tegas tapi tetap sopan. “Itu perintah yang sangat bagus” kata Jenderal Grant sambil membuang rokoknya ke dalam air.
Kebesaran jiwa seorang jenderal mau mendengar masukan dari seorang prajurit demi berlakunya sebuah peraturan dan agar tidak mengganggu kesehatan. Kebesaran jiwa dan kepatuhan kepada hukum tidak mengenal eselon, kepangkatan, jabatan atau apapun juga.
Amat menarik bahwa pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan menampilkan tiga saling : “saling melayani, saling menyayangi, saling mengampuni”. Kesalingan yang tiga dimensional ini agaknya penting untuk dijadikan agenda utama dalam kehidupan komunitas kita pada level manapun : keluarga, masyarakat, lembaga, komunitas agama, dan sebagainya. *Melayani, menyayangi, mengampuni* adalah hal-hal substantif yang bisa menjadi fondamen dan perekat dalam sebuah komunitas.
Agama-agama telah memberikan acuan dasar bagaiamana mengembangkan semangat melayani, menyayangi dan mengampuni dalam kehidupan di komunitas. Melayani adalah bertindak seperti ” servant” yang bertindak proaktif menjemput ‘bola’ tidak duduk manis di pojok ruang. Dalam konteks pemahaman diakonia maka pelayan melayani sang tuan yang sedang menikmati hidangan di meja makan.
Menyayangi, mencintai, mengasihi adalah aktivitas yang memungkinkan terjadinya persekutuan abadi dalam kehidupan komunitas. Mengampuni tanpa kenal batas adalah hal pokok dalam membangun komunitas. Ruang-ruang dialog dan keterbukaan untuk saling mengampuni, istimewa dalam konteks relasi suami-istri, orangtua-anak dan dimensi relasi lainnya, harus terbuka lebar dalam kehidupan komunitas.
Mari jalani tahun 2018 dengan mempraktikkan saling melayani, saling mengasihi, saling mengampuni.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*