PDT. WEINATA SAIRIN: *MEWUJUDKAN HIDUP BERBALUT KEJUJURAN ADALAH PANGGILAN IMAN*

0
575

 

 

_”Melius sincere legitimeque vivere purgamentis delectis quam luxurios corruptionibus. Lebih baik hidup jujur dan legal dari mengais sampah daripada hidup dari kemewahan yang korup”._

 

Hidup manusia adalah hidup yang sepenuhnya bergantung kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dialah, Kuasa Transenden itu yang menganugerahkan hidup itu kepada manusia. Melalui hidup yang Ia berikan itu, yang durasinya sesuai dengan rencana dan KasihNya, manusia dilibatkan oleh Allah untuk menjaga dan memberlanjutkan ciptaanNya. Itulah _privilege_ yang dimiliki manusia, tatkala ia dalam kefanaannya diikutsertakan oleh Tuhan, Khalik Semesta Alam untuk mengatur dan mengelola alam ciptaan Allah agar bertumbuh dengan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan bagi kehidupan umat manusia dari abad ke abad ditengah ruang dan waktu. Manusia boleh berbangga bahwa ia ditetapkan dan “direkrut” oleh Sang Khalik itu sebagai *Kawan Sekerja Allah*.

 

Predikat yang diberikan kepada manusia : Khalifah Allah di bumi, Imago Dei (the image of God), Kawan Sekerja Allah kesemuanya ingin menegaskan ulang tentang hakikat manusia sebagai ciptaan Allah yang termulia, dan peran sentralnya dalam membangun peradaban di tengah sejarah. Hakikat dan peran itu yang semestinya nampak dan diartikulasikan dengan baik oleh umat manusia disepanjang sejarahnya, dimanapun dan kapanpun.

 

Persoalan klise yang dihadapi sejak awal adalah bahwa manusia dalam keterbatasan dan kefanaannya tak mampu mengungkap diri dan menampilkan performance yang meyakinkan, original dan genuine bahwa ia adalah makhluk ciptaan Allah, yang tidak takluk dibawah “kuasa dosa” yang menghancurkan kemuliaan manusia. Manusia ternyata terus menerus dan berulang-ulang hidup dan memberlakukan dosa dalam kehidupan mereka, baik sadar maupun tak sadar. Dosa, _sin_ hadir merayu dan menggoyang manusia, lewat aksinya dalam beragam wajah yang mengecoh manusia yang pada ujungnya membuat manusia bertekuk lutut kepada kuasa dosa yang maha kuat dengan daya penetrasi yang menghunjam dalam.

 

Salah satu titik lemah manusia adalah sikap yang tidak jujur, backstreet, main belakang, dan atau selingkuh. Penghilangan sikap ini bukan hal yang mudah dan sederhana. Faktor lingkungan, pergaulan, pengaruh kawan sangat menentukan. Seseorang yang telah mengalami pendidikan keluarga cukup berhasil dalam hal moral dan karakter ternyata oleh karena pergaulan dan “setia kawan” kesemuanya bisa berubah.

 

Aspek pendidikan memberikan sumbangan besar dalam membentuk perilaku jujur dan sikap berintegritas bagi seseorang. Bapak Saut Situmorang Komisioner KPK dalam acara Deklarasi Anti Korupsi yang diselenggarakan Majelis Pendididikan Kristen Indonesia (MPK) di Jakarta 6 Juni 2018 menyatakan pentingnya aspek pendidikan dalam membentuk perilaku jujur dan berintegritas di kalangan peserta didik. Itulah sebabnya KPK akan menggandeng MPK dalam melaksanakan program KPK dimasa depan.

 

Sikap dan prilaku jujur, terus terang, menghargai perbedaan bisa tertanam dengan kuat dalam kedirian kita melalui _pembiasaan_ dan pendidikan, mulai dari rumah, sekolah, lembaga keagamaan. Pendidikan  dalam keluarga bisa di desain sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan kita.

 

Suatu saat seseorang mengajak anak laki-lakinya kepada James A Garfield pimpinan Hiram College. Ia ingin anak laki-lakinya itu memperoleh kursus singkat, bukan yang reguler. “Anak laki-lakiku tak perlu bisa mengambil semua pemdidikan itu. Ia ingin mendaptkannya dengan cara yang lebih cepat. Bisakah Anda mengaturnya?” “Oh tentu” jawab Garfield . “Ia bisa mengambil kursus singkat. Semuanya tergantung pada keinginanmu menjadikan dirinya seperti apa. Ketika Tuhan ingin menciptakan pohon Ek, Ia butuh waktu seratus tahun. Tetapi Ia hanya butuh waktu dua bulan untuk menciptakan labu”,

 

Keluarga, komunitas, masyarakat, bangsa dan negara membutuhkan orang-orang jujur, terbuka, profesional, respek terhadap kemajemukan. Negeri ini tidak membutuhkan para penipu, pembohong, koruptor, pembuat dan penebar hoax, pembuat ujaran kebencian, provokator sara, teroris dan sebagainya, dan sebagainya. Negeri yang penduduknya nyaris 100 % beragama dan sangat taat pada agama mereka, tak layak dan tak elok jika masih ada realitas yang paradoks bahkan menodai keluhuran agama.

 

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini amat menekankan aspek kejujujuran dan hidup menurut hukum, dengan narasi pembandingan yang cukup esktrim yang menunjuk kepada pekerjaan mengais sampah. Kita semua ditantang dan digugah agar secara pribadi kita menjalankan hidup dengan *jujur* dan legal sehingga hidup kita memiliki makna bagi umat bagi negeri.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here